Latar Belakang Karawitan Banyuwangi dan Karawitan Sunda-Karawitan Banyuwangi dan karawitan Sunda mempunyai latar belakang kehidupan budaya agraris yang kuat. Letaknya yang berdekatan dengan Bali dan hanya dipisahkan dengan selat kecil, sehingga pengaruh kesenian Bali tidak dapat dielakan. Bahkan menurut sejarahnya Banyuwangi pernah menjadi bagian dari kerajaan di Bali.
Bambu merupakan bahan baku pembuatan alat musik tradisional di daerah Banyuwangi dengan orkestrasi antara lain seruling dan angklung. Selanjutnya dari alat musik angklung yang berlaraskan slendro dan kenong kempul musik kolotomik yang sudah lebih dahulu ada mengadopsi baik instrumen, vokal maupun tehnik permainannya dari karawitan Bali maupun Jawa. Hal ini juga terjadi pada karawitan Sunda (gamelan Degung), alat musik dari bambu yakni seruling. Khususnya karawitan Jawa tidak tampak menonjol pengaruhnya dalam instrumen vokal dan tehnik permainannya, kecuali pada penyebutan alat musik dan syairnya.
Kebudayaan barat dimasa penjajahan Belanda juga amat dirasakan
pengaruhnya pada karawitan Banyuwangi hal ini terbukti dengan adanya “biola” masuk dalam ansambelnya. Demikian pula pengaruh Cina yakni alat musik “triangel” atau disebut kluncing atau ining-inging.
Karawitan Banyuwangi yang berlaraskan slendro dengan alat yang terdiri dari: 2 demung, 2 slenthem, 4 saron, 2 peking, 2 kendang, kenong telok, kempul gong, 2 angklung, biola dan triangel itu pada umumnya berfungsi membantu penyajian lagu-lagu tradisional. Sedangkan sebagai pemangku tari hanya pada jenis tari kreasi baru
Yang bersumber dari tradisi. Sedangkan karawitan Sunda yang berlaraskan pelogterdiri dari: 1 saron penerus, 1 cempres (jw: peking), 1 set bonang, 1 set jengglong (jawa: kempul), 1 set kendang, 1 seruling, 1 rebab, 1 kecrek dan goong.
Bertolak dari hal tersebut diatas, tidaklah mudah mempelajari karawitan Banyuwangi maupun karawitan Sunda dengan harus mempelajari karakter, bentuk serta pola tabuhan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu perlu pemecahan guna mendapat solusi agar tidak terjadi hambatan, kejenuhan dan keengganan mengikuti proses belajar bahkan mengabaikan.
Adapun solusi yang penulis tawarkan guna tercapainya proses belajar mengajar yang efektif dan efisien adalah dengan metode pengamatan dan imitasi. Metode pengamatan, mahasiswa akan mendapatkan penjelasan perihal latar belakang budaya, jenis-jenis alat, tehnik pukulan serta istilah-istilah musik, lagu/syair dan permainanya disertai pemutaran VCD. Sedangkan metode imitasi adalah pola menirukan tehnik suara maupun tehnik pukulan baik dari pelau seni maupun dari contoh VCD.
Akhirnya dengan metode ini yang diharapkan tidak akan terjadi cara belajar seperti yang dikawatirkan bahkan sebaliknya akan tercipta suasana kondosif penuh semangat yang muaranya dengan hasil memuaskan.
Bambu merupakan bahan baku pembuatan alat musik tradisional di daerah Banyuwangi dengan orkestrasi antara lain seruling dan angklung. Selanjutnya dari alat musik angklung yang berlaraskan slendro dan kenong kempul musik kolotomik yang sudah lebih dahulu ada mengadopsi baik instrumen, vokal maupun tehnik permainannya dari karawitan Bali maupun Jawa. Hal ini juga terjadi pada karawitan Sunda (gamelan Degung), alat musik dari bambu yakni seruling. Khususnya karawitan Jawa tidak tampak menonjol pengaruhnya dalam instrumen vokal dan tehnik permainannya, kecuali pada penyebutan alat musik dan syairnya.
Kebudayaan barat dimasa penjajahan Belanda juga amat dirasakan
pengaruhnya pada karawitan Banyuwangi hal ini terbukti dengan adanya “biola” masuk dalam ansambelnya. Demikian pula pengaruh Cina yakni alat musik “triangel” atau disebut kluncing atau ining-inging.
Karawitan Banyuwangi yang berlaraskan slendro dengan alat yang terdiri dari: 2 demung, 2 slenthem, 4 saron, 2 peking, 2 kendang, kenong telok, kempul gong, 2 angklung, biola dan triangel itu pada umumnya berfungsi membantu penyajian lagu-lagu tradisional. Sedangkan sebagai pemangku tari hanya pada jenis tari kreasi baru
Yang bersumber dari tradisi. Sedangkan karawitan Sunda yang berlaraskan pelogterdiri dari: 1 saron penerus, 1 cempres (jw: peking), 1 set bonang, 1 set jengglong (jawa: kempul), 1 set kendang, 1 seruling, 1 rebab, 1 kecrek dan goong.
Bertolak dari hal tersebut diatas, tidaklah mudah mempelajari karawitan Banyuwangi maupun karawitan Sunda dengan harus mempelajari karakter, bentuk serta pola tabuhan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu perlu pemecahan guna mendapat solusi agar tidak terjadi hambatan, kejenuhan dan keengganan mengikuti proses belajar bahkan mengabaikan.
Adapun solusi yang penulis tawarkan guna tercapainya proses belajar mengajar yang efektif dan efisien adalah dengan metode pengamatan dan imitasi. Metode pengamatan, mahasiswa akan mendapatkan penjelasan perihal latar belakang budaya, jenis-jenis alat, tehnik pukulan serta istilah-istilah musik, lagu/syair dan permainanya disertai pemutaran VCD. Sedangkan metode imitasi adalah pola menirukan tehnik suara maupun tehnik pukulan baik dari pelau seni maupun dari contoh VCD.
Akhirnya dengan metode ini yang diharapkan tidak akan terjadi cara belajar seperti yang dikawatirkan bahkan sebaliknya akan tercipta suasana kondosif penuh semangat yang muaranya dengan hasil memuaskan.
0 komentar:
Post a Comment