Banyak di antara kita yang tidak lagi mengenal Kentrung, salah satu kesenian yang dimainkan oleh sebuah grup dengan seperangkat alat musik yang terdiri dari kendang, ketipung dan jidor. Kentrung adalah salah satu kesenian bertutur, seperti layaknya wayang kulit. Hanya saja Kentrung tidak disertai adegan wayang. Sepanjang pementasanya Kentrung hanya diisi oleh seorang dalang yang merangkap sebagai penabuh gendang dan ditemani olehpenyenggak yang menabuh rebana (jidor). Dulu Kentrung banyak dipentaskan pada berbagai hajatan masyarakat seperti syukuran kelahiran anak, khitanan, pitonan, maupun mudun lemah.
Kentrung sarat akan nilai-nilai dakwah. Materi lakon-nya pada umumnya menceritakan tentang ketauladanan zaman Khalifah Empat, Wali Songo dan zaman Mataram Islam. Ada juga yang terkait dengan sejarah di Pulau Jawa yang banyak dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Di antara lakon-lakonnya yang populer adalah Nabi yusuf, Syeh Subakir, Amad Muhammad, Kiai Dullah, Amir Magang, Sabar-Subur, Marmaya Ngentrung, Sunan Kalijaga, Ajisaka danBabad Tanah Jawa. Selain itu kerap juga membabarkan mengenai nilai-nilai tasawuf dengan mengupas berbagai topik seperti Purwaning Dumadi, Keutaman, Kasampurnan Urip, dan Sangkan Paraning Dumadi. Kentrung juga sarat dengan pesan-pesan moral yang tercermin pada tembang-tembang Kentrung, diantaranya Kembang-Kembangan; Kembang Terong Abang Biru Moblong-Moblong, dan Sak Iki Wis Bebas Ngomong, Ojo Clemang-Clemong (bunga terong berwarna merah biru mencorong, sekarang ini sudah bebas berbicara, tetapi jangan celometan).
Prof. Dr. Suripan Sudi Hutomo dalam bukunya Kentrung mengatakan kesenian ini berkembang pada abad XVI di Kediri, Blitar, Tulungagung, Tuban dan Ponorogo. Versi awal kesenian ini cukup beragam. Ada yang menyebut Kentrung sebagai kesenian asli bangsa Indonesia. Namun versi lain mengatakan Kentrung berasal dari jazirah Arab, Persia, dan India. Yang pasti, sebagai sarana dakwah, pada masa kejayaannya Kentrung diminati masyarakat. Kentrung mencapai zaman keemasannya pada tahun 1970-an hingga 1980-an. Selama dua dasawarsa itu hampir seluruh masyarakat yang berpesta mengudang Kentrung. Di awal 90-an, ketika televisi makin murah dan layar tancap menawarkan altenatif hiburan yang praktis, Kentrung mulai terseok.
Dari catatan Seksi Kebudayaan Diknas Tulungagung pada tahun 70-an hampir setiap desa di Tulungagung memiliki kelompok Kentrung. Namun saat ini hanya tinggal 1 saja yang masih bertahan. Diknas Tulungagung pernah menyarankan agar kelompok-kelompok Kentrung tidak terpaku pada pakem, tapi menampilkan inovasi baru. Misal, mencampur dengan teknik penampilan kesenian lain, kalau perlu mengambil metode campursari. Lenyapnya apresiasi masyarakat, dan menyusutnya komunitas seniman Kentrung, juga mengakibatkan tidak terjadinya regenerasi dan pewarisan. Serbuan kesenian modern seperti layar tancap, dangdut, atau memutar VCD menjadi penyebab utama hilangnya Kentrung di tengah masyarakat. Kentrung tidak sendiri. Kesenian tradisional lainnya; Ketoprak, Ludruk, Langen Tayub, Jaranan, dan Jathilan, juga mengalami nasib serupa. Namun khusus untuk Kentrung, jalan menuju kematiannya lebih disebabkan oleh sikap masyarakatnya yang lebih suka menjadikan kesenian sebagai tontonan, bukan tuntunan. Jadi, tidak aneh jika perilaku masyarakat sekarang juga berubah karena kesenian tidak lagi berisi tuntunan-tuntunan.
Meskipun sekarang ini Kentrung mulai meredup, beberapa seniman muda mulai menggeluti Kentrung dengan mengembangkan inovasi-inovasi baru seperti menggabungkanya dengan lawakan dan ludruk. Suatu usaha dari seniman muda yang patut mendapat dukungan dan apresiasi dalam melestarikan Kentrung.
0 komentar:
Post a Comment